PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada
rasio, dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis
mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalsme. Sedangkan mereka
yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan
empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyususn
pengetahuannya. Premis yang dipakai
dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat
diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan manusia. Prinsip itu sendiri
sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan
nama idealisme. Fungsi pikiran manusia adalah mengenali prinsip tersebut
yang lalu menjadi pengetahuaannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat
apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya.
Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan
mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat
mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra
pegalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai
kriteria untuk mengetahuai akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang
adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A mungkin bersifat
jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja
bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sistem
pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang bagi si B merupakan
prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama ynag dihdapi kaum
rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipkainya dalam
penalara deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran
rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi
semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional
akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu seperti
beberapa klasifikasi ilmu yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini,
menurut beberapa pandangan filsuf. Diantarnya August Comte, Karl Popper dan
Thomas Kuhn.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pandangan klasifikasi
ilmu menurut August Comte?
2.
Bagaimana pandangan klasifikasi
ilmu menurut Karl Popper?
3.
Bagaimana pandangan klasifikasi
ilmu menurut Thomas S. Kuhn?
PEMBAHASAN
A.
August Comte: positif - Empiris
Bermula dari
ketertarikan August Comte (1798-1857) melihat perkembangan ilmu alam (natural
scienses) yang dengan penyelidikannya perilaku alam lalu dapat ditemukan hukum-hukum
tetap yang berlaku general pada alam (hukum alam). Comte kemudian melakukan
“copy paste” metodologi ilmu lama yang digunakan menyelidiki perilaku
sosial, dengan begitu, menurut keyakinan Comte, akan dapat ditemukan
hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat (hhukum sosial).
Comte melalui
pekerjaanya itudengan melakukan refleksi mendalam tentang sejaran perkembangan
alam pikir manusia. Menurut August Comte sejarah perkembangan alam pikir
manusia terdiri dari tiga tahap yaitu tahap teologik, tahap metaphisik, dan
tahap positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang segala sesuatu
didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan, sedang pada tahap metaphisik,
penjelasan mengenai realitas didasarkan atas pengertian-pengertuan metafisik,
seperti substantif, form ,sebab, dll. Akhirnya Comte sampai pada kesimpulan
bahwa sejarah perkembangan pemikiran manusia telah sampai pada babak terkhir
yaitu, babak positif, dan telah jauh meninggalkan peradaban metafisika apalagi
mitologi. Comte mnyatakan, saat ini manusia memasuki peradaban positif.
Langkah
selanjutnya ia membuat norma-norma ilmiah yang kemudian disebut dengan metodologi
ilmiah itu. Isu utama yang dibawa positivisme memang persoalan metodologi,
yang dapat dikatakan, sebagai titik berat refleksi filsafatnya. Maka, hanya
fakta positif-empiris dan yang digali menggunakan sarana metodologi ilmiah yang
dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
1.
Metodologi Ilmiah
Metodologi
merupakan isu utama yang dibawa positivisme, yang memang dapat dikatakan bahwa
refleksi filsafatnya sangat menitik beratkan pada aspek ini. metodologi positivisme
berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek positif. Jika metodologi bisa
diartikan suatu cara untuk memperoleh suatu pengetahuan yang sahih tentang
kenyataan, maka keyataan dimaksud adalah objek positif.
Objek positif sebagaimana dimaksud
Comte dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi atau antinomi, yaiu
antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yag meragukan’; ‘yang
tepat’ dan ‘yang kabur’; ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’; serta ‘yang
mengklaim memiliki kesahihan relatif’ dan ‘yang mengklaim memiliki kesahihan
muthlak’. Dari beberapa patokan “yang faktual” ini, positivisme melatakkan
dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya tentang objektif. Jika faktanya adalah
“gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannyaadalah biologi. Jika fakta itu
“bebda-benda mati”, ilmu pengetahuannya ada fisika. Demikian juga banyak bidang
kehidupan lain yang dapat menjadi objek observasi empiris yang secara regoruos
menjadi objek ilmu pengetahuan.
Atas dasar pemikiran ini, bagi
Comte, ilmu pengetahuan yang pertama adalah astronomi, lalu fisika, lalu kimia,
dan akhirnya psikologi (biologi). Masing-masing ilmu tersebut emiliki sifat
dependennya, dalam hal ini ilmu yang lebih bergantung pada yang lebih dahulu.
Belajar ilmu fisia tidak akan efektif tanpa mempelajari dahulu astronomi.
Belajar psikologi tidak akan efektif tanpa lebih dulu belajra kimia, begitu
seterusnya. Demikian ini karena fenomena biologi lebih kompleks ari pada
fenomena astronomi.
Mengenai matematika, meski Comte
sendi seorang ahli matematika, namun ia memandang matematika bukan ilmu, a
hanya aat berpikir logik. Bagi Comte, matematika memang dapat menjelaskan
fenomena, namun dalam pratiknya, fenomena ternyata lebih kompleks.
Antinomi-antinomi yang dibuat Comte
diatas kemudian diterjemahkan kedalam norma-norma metodologi sebagai berikut:
a.
Semua pengetahuan harus terbukti
lewat rasa-kepastian (sense of certanty) pengamatan sistematis yang terjamin secara
intersubjektif.
b.
Kepastian metodis sama pentingnya
dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan
metode.
c.
Ketepatan pengetahuan kita dijamin
hanya oleh bangunan-bangunan teori yang secraa formal kokoh yang mengikuti
deduksi hipotesis-hipotesis yang menyeruai hukum.
d.
Pengetahuan ilmiah harus dapat
diperguanakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atau
pross-proses alam maupun sosial. Kekuatn kntrol atas alam dan masyarakat dalat
dilipat gandakan hanya dengan mengakui asas-asas rasionalitas, bukan memalui
perluasan buta dari riset empiris, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan
teori-teori.
e.
Pengetahuan kita pada prinsipnya
tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan sifat relatif dan semangat
positif.
Atas dasar pandangan diatas,
menurut Comte metode penelitian yang harus digunakandalam proses keilmuan
adalah observasi, eksperimen, kemudian komparasi. Yang terakhir ni digunakan,
terutama untuk melihat hal-hal yang lebih komplek, seperti biologi dan sosiologi.
2.
Sosiologi Comte
Dengan memberikan penekananpada
aspek metodologi, sebagaimana disinggung diatas, positivisme beranggaan bahwa
ilmu-ilmu menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis
(misalnya: bila..., maka...), instrumental bebas nilai. Ketiga prinsip
tersebut tidak hanya berlaku pada ilmu alam, tetapi juga pada ilmu sosial
(sosiologi), dan inilah kontribusi terbesar dari Comte, yang mengantarkannya
sebagai bapak sosilogi modern.
Berkaiatan dengan ilmu-ilmu sosial
ini asumsi-asumsi positivistis tersebut bekonsekuensi tiga hal sebagai berikut:
pertama, prosedur-prosedus metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsug
diterapkan pada ilmu-imu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia,
kepentingan, maupun kehendak, tidak mengganggu objek observasi, yaitu tindakan
sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-lmu sosial disejajarkan dengan
dunia alamiah. kedua, hasil-hasil riset dapat diruuskan dalam bentuk
hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. ketiga, ilmu-ilmu sosial itu
harus bersifat teknis, yaitu meyediakan pengetahuan yang besifat instrumental
murni. Pengetahuan itu harus dapat dipkai untuk keperluan apa saja sehingga
tidak bersifat etis dan juga tidak terkait dengan dimensi politis. Seperti
ilmu-ilmu alam, ilmu-imu sosial bersifat bebas niai (value-free).
Sebagai bapak sosilogi, Comte
adalah orang pertama yang menguankana istilah sosiologi untukmenggantikan phisique
siciale (fisika sosial) dari Quetelet. Sosiologi Comte terdiri dari
sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Keduanya mnganalisis fakta
sosial yang sama, hanya saja tujuannya berbeda; yang pertama menelaah fungsi
jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelah perubahan-perubahan jenjang
tersebut. Comte juga embedakan konsep order dan progres. Order terjadi bila
masyarakatnya stabil berpegang pada prinsip dasar yang sama, dan terdapat
persamaan pendapat. Disebut progres, denga dicontohkan ketika muncul ide
protestanisme dan revolusi perancis.
3.
Positivisme Logis: Verifikasi
Upaya Comte melakukan “copy-paste”
metodologi ilmu alam untuk menyelidiki ilmu sosial, telah melahirkan
disiplin ilmu baru yaitu sosiologi (fisika sosial). Tentu ini merupakan
kemajuan. Sebagaimana ilmu alam yang
menemukan “hukum alam”, sosiologi Comte ternyata juga dapat menemukan “ hukum
sosial”.
Namun, Wilhem Dilthey melihat
sesuatu yang lain. Ia terus gelisah atas gagasan Comte itu. Bagi Dilthey,
perilaku alam dan perilaku sosial itu berbeda. Maka merupakan upaya pemaksaan
jika hanya satu mtodologi untuk keduanya atau jika tidak ada pembedaan kedua
objek itu. Pembedaan karakteristik objek itu berkonsekuensi terhadap perbedaan
metodologi. Dilthey kemudian menenukan dan menawarkan perbedaan metodologi atas
dua objek yang berbeda itu, yaitu metode erklἂren (menjelaskan) untuk
ilmu kealaman (naturwissenchaften)dan metode verstehen (memahami)
untuk ilmu-ilmu sosial-budaya (geisteswissenchaften) yag dimaksud
“menjelskan” adalah menganalisis data-data yang ditemukan sehingga menjadi satu
keterhubungan yang logis berdasarkan (baca: berlandaskan) teori tertentu.
Dengan cara mengkaitkan atau membandinkan data-data yang ada. Verstehen disepadankan
denagn istilah “understanding” (memahami). Maksudnya, menempatkan dan
memerlukan objek (termasuk data dalam penelitian) pda kekompleks-an situasi dan
latar belakang yang mengitarinya, dengan sikap empati.
Atas kritik Dilthey ini, ara
pendukung positivisme tidak tinggal diam. Maka ekitar tahun 1920-an lahir suatu
kelompok diskusi yang terdiri daripara sarjana ilmu pasti dan alam yang
berkedudukan dikota wina (Vinna Circle). Setiap minggu mereka berkumpul
untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan.
Kelompok ini didirikan oleh Morizt Schlick, Hans Hahn, Otto Neurath, Victor
Kraft, Habbert Feigl, dan Rudolf Carnap.
Pandangan yang dikembangkan oleh
kelompok ini adalah neopotivisme, atau sering juga disebut positivisme logis
memusatkan diri pada bahasa dan makna. Mereka mengklaim bahwa kekacauan kaum
idealis dengan berbagai pendekatan metafisiska yang digunakan dalam melihat
realitas, adalah karena bahasa yang mereka pakai secara esensial tanpa makna.
Sebagai penganut positivisme, secara umum mereka berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah pengalaman, namun secara khusus dan eksplisit pendirian
mereka sebagai berikut; (a) mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial; (b) menganggap pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat
diverifikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika,
sebagai nonsense; (c) berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan didalam
satu bahasa ilmiah yang uiversal (Unified Science); (d) memandang tugas
filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.
Di antara para anggota Lingkaran
Wina, filsuf yang menarik perhatian adalah Rudolf Carnap. Pengaruhnya tasa
filsafat dewasa ini dapat dibandingkan dengan Russell dan Wittgenstein.ia seoag
pemikir yang sistematis dan orisinil. Ia pernah megajara dan menjadi guru besar
di Chicago, Princeton dan University of California di Los Angeles.
Pada abad ke-19 timbullah aliran
filsafat yang menandai semakin berkembangnya ilmu filsafat modern. Aliran itu
terkenal dengan nama “positivisme”, yang secara etimologi berasal dari kata
‘positif’ yang secara harfiah berarti yang diketahui, yang faktual empiris
bahkan dapat uga berarti teruji atau teramati.
Menurut aliran positivisme bahwa
pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang
positif. Segala uraian atau persoalan yang berada diluar apa yang ada sebagai fakta
dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.
Apa yang kita ketahui secara
positif adalah segala yang tampak. Segala hal yang bersifat empiris dan segala gejala.
Demikianlah positivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan pada bidang
gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan adalah segala fakta yang
menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, yang kita terima
sebagai apa adanya, setelah itu kita berusaha utuk mengatur fakta-fakta tadi
menurut hukum-hukum tertentu. Akhirnya dengan berpangkal pada hukum-hukum yang
telah ditemukan tadi kita mencoba melihat kemasa depan, kearah apa yang akan
nampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Arti segala ilmu
pengetahuan adalah mengetahui untuk dapat melihat kemasa depan. Jadi kita hanya
dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelidi
hubungan-hubungannya dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan pada
tingkat hakikatnya atau pada sebab-sebab yang sebenarnya dari gejala-gejala
itu. Yang harus diusahakan manusia adalah menetukan syarat-syarat dimana
fakta-fakta tertentu tampil dan menghubungkan fakta-fakta itu menurut persamaannya. Dan urutannya. Hubungan
yang tetap yangtampak dalam persamaan itu disebut “pengertian”, sedangkan
hubungan-hubungan yang tampak pada urutannya disebut “hukum”.
Bilamana diamati ajaran positivisme
terutama dalamkaitannya dengan pengenalan pengetahuan masih emiliki
kesamaan-kesamaan prinsip terutama dalam hal menguatamakan pengalaman empiris.
Namun perbedaanyang pokok adalah positivisme menolka denga tegas metafisika,
termasuk juga pengertian kawasan ide atau gagasan yang bersifat batiniah.
Positivisme hanya mambatasi diri pada pengalaman-pengalaman objektif dan tnpa
melibatkan pengalaman-pengalaman batiniah.
Demikian doktrin positif yang pada
periode-periode berikutnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan modern terutama pada abad XX.
4.
Pemikian August Comte
Ajaran Comte
yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik
manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan. Bagi Comte perkembangan
menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap.
Ketiga zaman tersebut meliputi: zaman teologis, zaman metafisis, zaman
positif atau zaman ilmiah.
a)
Zaman teologis
Pada zaman ini
mnausia percaya bahw dibalik gejala-gejala alam terdapat kekuasaan adikodrati
yang mengatur fungsi gerak gejala-gejala tersebut. Keluasan ini diangga[
sebagai makhluk yang memiiki asio dan kehendak seperti manusia, tetapi manusia
percay mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
makhluk-makhuk insani yang biasa. Zaman teologis sendiri dibagi atas tiga
periiode yaitu: taraf yang paling primitif yaitu benda-benda sendiri
dianggapnya berjiwa (animisme), taraf berikutnya, manusia percaya kepada
dewa-dewa yang menguasai yang masing-masing menguasaoi suatu dunia
sendiri-sendiri, misalnya dew laut, dewa gunung, dewa matahari dan lain
sebagainya yang disebut (politeisme). Adapun pada taraf yang lebih tinggi lagi
manusia memandang satu Tuhan sebagai penguasa segala sesuatu (monoteisme).
b)
Zaman metafisis
Dalam zaman
ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dengan prinsip-prinsip
yang abstrak, seperti misalnya “kodrat” dan “penyebab”. Konsep-konsep
metafisika seperti substansi, aksidensia dan lain sebagainya menjadi penting
pada zaman ini. metafisika dijunjung tinggi dalam zaman metafisis ini.
c)
Zaman positif
Pada zaman ini
sudah tidak dicari lagi penyebab-penyebab yang terdapat dibelakang fakta-fakta
yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya
manusia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urut-urutan yang
terdapat diantara fakta-fakta. Baru dalam zaman terakhir inilah manusia dapat
menghasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yng sebenarnya atau disebut ilmu
pengetahuan modern.
Dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan Comte juga memberikan uraian-uraiannya yang
kiranya sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan pada abad XX.
Pemikira positivisme ini memberikan dasar
pijak bagi paham filsafat analitik terutama kelompok Wina atau Kring Wina yang
menanamkan dirinya sebagai paham positivisme logis. Seluruh pandangan
positivisme diangkat oleh positivisme logis, hanya perbedaannya positivisme
logis menekankan pada analisis konsep filosofis melalui bahasa, serta
positivisme logis lebih menekankan kepada prinsip verifikasi.
Baik positivisme maupun positivisme logis
keduanya menolak dengan tegas metafisika. Dasar-dasar verifikasi, pandangannya
tentang ilmu pengetahuan dengan segala dasar-dasar epistemologisnya dapat
dikatakan hamopir keduanya memiliki kesamaan.
B.
Karl Popper: Falsifikasi
Karl Raimund Popper lahir di
Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902.
Ayahnya Dr. Simon Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada
Filsafat. Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar
dan karya-karya mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya
pada filsafat dan problem sosial dari ayahnya.
Ketika umurnya 17 tahun, ia sempat
menganut komunisme, tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan aliran politik
ini, dengan alasan, karena para penganutnya hanya menerima begitu saja suatu
dogmatisme yang tidak kritis. Pada tahun 1928 ia meraih gelar “doktor filsafat”
dengan suatu disertasi Zur Methodenfrage der Denkpsycologie. Popper
bermukim di Selandia Baru dan diangkat menjadi profesor di London School of
Economics pada tahun 1948 berkat karyanya yang anti-komunis, The Open
Society and Its Enemis (1945). Gagasan Popper tentang hakikat prosedur
imiah dikembangkan dalam Logic of Scientfic Discovery. Meski ia banyak
mengenal anggota Lingkaran Wina dan sering melakukan kontak, seperti pada
Victor Kraft dan Herbert Feigl, namun ia tidak pernah menjadi anggota Lingkara
Wina, bahkan tidak pernah menghadiri
pertemuan-pertemuan mereka. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus
yang paling tajam terhadap kelompok Lingkaran Wina. Karena lingkaran ini
dianggap menjadi mesin yang memproduk dan pengembang aliran neopositivistik,
yang pro terhadap metode berfikir induktivistik. Menurutnya metode ini
mengalami kegagalan, karena tidak dapat membedakan antara science (pengetahuan
ilmiah) dan preude science (pengetahuan semu) atau empirical method and a non
empirical method. dalam standar kriteria ilmu maupun sistem antara empirical
science dengan matematics and logic as metaphysical. sehingga ilmu pengetahuan
sulit untuk dibedakan, mana yang berdasarkan logika dan fakta empirik
(empirical fact) dan mana pengetahuan berdasarkan pengalaman pribadi
(psychology of knowledge) yang dipengaruhi oleh tradisi, emosi, otoritas dan
lain sebaginya.
Dalam kaitannya dengan problem
filsafat ilmu, pemikiran Popper, oleh beberpa penulis sering dikelompokkan
dalam tiga tema, yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi, dan persoalan
dunia ketiga. Ia memang tidak sependapat dengan keyakinan tradisional tentang
‘induksi’, dan menyatakan bahwa tak ada yang sejumlah contoh-contoh khusus yang
menjamin prinsip universal. Demikian juga soal ‘verifikasi’ sebagaimana
diyakini Lingkaran Wina. Bagi dia ‘falsifikasi’ atau juga disebut
‘falsifiabilitas’ adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat, antara ilmu
dengan yang bukan-ilmu.
1.
Induksi Dan Hipotesa
Bagi para praktisi ilmu, metode
induksi sering tidak perna jadi persoalan, namun bagi pengamat, teoritis dan
filsuf ilmu, induksi selalu menjadi problem.
Persoalan yang paling mendasar bagi mereka adalah, bahwa metode induksi
yang berangkat dari beberapa kasus partikular kemudian dipakai untuk
menciptakan hukum umum dan muthlak perlu (necessary and sufficient cause). Misalnya
dengan beberapa penelitian (kasus) ditemukan bahwa angsa berwarna putih,
kemudian disimpulkan bahwa semua angsa berwarna putih. Atau bedasarkan
penelitian, bahwa emas dipanaskan memuai, besi dipanaskan memuai, tembaga
dipanaskan memuai, lalu disimpulkan semua logas dpanaskan memuai. Diantara
filsuf yang mempersoalkan ‘proses generalisasi’ denga cara induksi adalan
francis Bacon, meski kemudian ia mengajukan teori “idola”nya. John S. Mill juga
melakukan hal yang sama, konsep yang diaukan adalah metode kesesuaian,
ketidaksesuaian, dan metode residue. Filsuf yang secara radikal
menolak proses generalisasi ini adalah
David Hume. sementara Popper sendiri dalam hal ini setuju dengan Hume, bahwa
peralihan dari yang partikular ke yang universal itu secara logis tidak sah.
Menurut Popper, metode induktif meninggalkan banyak masalah dalam ilmu
pengetahuan, masalah itu apakah menyangkut proses cara memperoleh pengetahuan,
ukuran validitas kebenaran, hasil pengetahuannya bersifat subyektif dan lain
sebagainya.
Seacara Khusus, Popper mengkritik
pandangan non-positivisme (Vinna Circle), yang mnerapkan pemerlakuan
hukum umum – dan menganggapnya – sebagai teori ilmiah. Seperti telah diketahui,
mereka memperkenalkannya dengan sebutan ungkapan bermakna (meaningful),
untuk dibedakannya dari ungkapan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan
kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris. Popper berbeda anggapan
mereka bahwa suatu teori umu dapat dirumuskan dan dibuktikan kebenarannya
melalui prinsip verifikasi. Bagi Popper, suatu teori tidak bersifat ilmiah
hanya karena bisa dibuktikan (kebenaranya), melainkan karena dapat diuji (testable),
dalam arti dapat diuji dengn percobaan-percobaan sistematis untuk
menyangkalnya. Apabila suatu hipotesa atau teori tersebut semakin
diperkokoh (corroboration). Makin
besar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori dan jika teori itu terus bisa
bertahan, maka semakin kokoh pila kebenaranhya.
Menuruy Popper, teori-teori ilmiah
selalu dan hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran
terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih
tepat. Untuk itu Popper lebih suka menggunakan istilah hipotesa, atas dasar
kesementaraannya. Upaya ini ia sebut dengan the tesis of refutability: suatu
ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat
kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Atau dengan kata lain,
perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuan yang sejati tidak
akan takut pada kritik, sebaliknya ia sangat mengharapkan kritik, sebab hanya
melalui jalan kritik ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan.
Begitulah, bagi Popper sebuah
hipotesa, hukum, atau teori, kebenarannya hanya bersifat sementara, yakni
sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada didalamnya. Jika ada
pernyataan: “semua angsa itu berbulu putih”, melaui prinsip refurasi tersebut, hanya
ditemukan seekor angsa yang berbulu puih selain putih, maka runtuhlah
pernyataan semula. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju, jika
suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat dibuktikan dengan
hipotesa yang baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur
hipotesa yang dibuktikna salah untuk digantikan dengan unsur hipotesa yang
dibuktikan salah satu digantikan dengan unsur dengan unsur baru yang lain,
sehingga hipotesa telah disempurnakan.
Pandangan Popper ini, sekaligus
mununjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi,
dalam arti pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung
suatu teori, sebagaimana pandangan noe-positivisme. Bagi Popper, proses
pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan
dan kesalahan (error elimination). Lebih jauh, untuk membuktikan
pandangannya itu, ia menggunkan bukti-bukti sejarah ilmu, dalam hal ini
koreksi (error elimination) dari
Einstein terhadap fisika newtonuntuk menerangkan gejala-gejla fisis dalam dunia
kita. Sejarah imu ini, bagi Popper, merupakan contoh paling jelas daam
memperlihatkan bagaimana proses pertumbuhan ilmu pengetahuan. Suatu teori
ilmiah tidak pernah benar secara definitif atau mendekati kebenaran, karena
teori-teori kita lihat menjadi lebih terperinci dan bernuansa. Selalul kita
harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori yang ternyta lebih
memuaskan untuk menjelaskan fakta-fakta. Bagi Popper, kemajuan ilmiah itu
dicapai lewat ‘dugan dan penyanggahan’, dan semangat kritik dari (self-critical)
adalah eensi ilmu.
2.
Demarkasi Dan Falsifikasi
Seperti telah disinggung diatas, problem demarkasi
popper ini berkaitan dengan upayanya mengoreksi gagasan dasar lingkaran Wina,
dalam hal ini pembedaan antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningful) dari
yang ungkapan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat
atau tidaknya dibenarkan secara empiris (verifikasi-informasi). Pembedaan itu
digantinya dengan apa yang disebut demarkasi atau garis batas, dalam hal ini, antara
ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Menurut Popper, ungkapan yang tidak bersifat
ilmiah mungkin sekali sangat bermakna (meaningful), begitu sebaliknya.
Popper melihat beberpa kelemahan prinsip
verifikasi Lingkaran Wina, antara lain: pertama, prinsip verifikasi
tidak pernah mugkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum.
Hukum-hukum umum dalam pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena,
seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang
sebagian bear terdiri dari hukum-huum umum) adalah tidak bermakna. Kedua, berdasarkan
prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah
dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari
pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan
metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun baru
menjadi ilmiyah kalau sudah di uji dan di tes. Ketiga, untuk menyelidiki
bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus bisa dimengerti.
Sehingga, yang jadi pesoalan, bagaimana
bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang dimaksud teori?
Kiranya atas dasar ini, Popper selanjutnya
mengajukan prinsip falsifikasi sebagai ciri utama teori ilmiah. Menurutnya,
sebuah proposisi (ataupun teori) empiris harus dilihat potensi kesalahannya.
Sejarah menunjukkan, selama suatu teori bisa bertahan dalam upaya falsifikasi
selama itu pula teori tersebut tetap kokoh, meski ciri kesementaraannya tetap
tidak hilang. Suatu teori bersifat ilmiah, jika terdapat kemungkinan secara
prinsipil untuk menyatakan salahnya. Itulah maksud dari ‘prinsip
falsifiabilitas’. Suatu teori yang secara prinsipil mengeksklusikan setiap
kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang mengatakan salahnya teori itu,
menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah. Falsifikasi sebagai Epistemologi
Pemecahan Masalah. Berbeda dengan cara induktif, falsifikasi menggunakan cara
kerja ilmu pengetahuan tidak hanya menggunakan observasi dan pengalaman sebagai
dasar di dalam menentukan hukum- hukum ilmu pengetahuan (generalisasi), akan tetapi
masih ada prasyarat lain yaitu uji kesalahan (Falsifiable) melalui uji
kesahihan (testable). Menurutnya Falsifikasi adalah untuk mematahkan sesuatu
keadaan yang salah, tidak benar.
Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan itu tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu. Perkembangan dan
pertumbuhan ilmu terjadi akibat dari eliminasi yang semakn ketat terhadap
kemungkinan salah. Pengembangan ilmu itu dilakukan dengan uji-hipotesis
sehingga bisa di salahkan dan dibuang bila memang salah. Maka metode yang cocok
untuk upaya ini adalah falsifikasi.
Dengan demikian, aktifitas keilmuan hanya
bersifat mengurangi kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang
objektif. Maka pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori karena
terbukti salah, untuk mendapatkan teori yang baru. Untuk itu, falsifikasi
menjadi metode atau alat untuk membedakan genuine science (ilmu murni)
dari apa yang disebut Popper sebagai pseudo science (ilmu turunan).
Karena itula Popper mengatakan, “science is revolution in permanence and
criticism is the heart of the scientific enterprise”. Jadi, kriteria
keilmiahan sebuah teori adalah teori itu harus bisa di salahkan (falsifiability),
bisa disangkal (refutability) dan bisa di uji (testability).
Pemikiran Popper ini yang mengantarkannya dikenal sebagai epistemolog
rasionalisme-kritis dan empirisis modern.
Salah satu hal yang banyak merepotkan para
anggota Lingkaran Wina ialah percobaan untuk merumuskan apa yang disebutnya
prinsip Verifikasi (the Principle of Verification), artinya Teori yang tidak
dapat ditangguhkan suatu yang positif sehingga prinsip yang memungkinkan untuk
membedakan antara pengetahuan empirik dan metafisika atau memberikan batas ilmu
(Science) dengan preudo ilmu (preudo science).
Science yang sejati menurut Popper adalah
sikap kritis yang tidak mencari verifikasi atas teorinya, melainkan tes-tes
yang akan mereputasikannya, meski tak akan pernah mengukuhkannya. Dengan kata
lain kriterium demarkasi antara ilmu dan pseudo ilmu ialah falsifiabilitas
(pernyataan bisa disangka). Contoh kriteria ilmu pengetahuan (science yang
benar sebagaimana usaha Einstein tentang teori gravitasi. Teori gravitasi
Einsten menyimpulkan bahwa cahaya meski mengalami daya tarik oleh benda-benda
besar seperti matahari. Maka bisa dihitung bahwa cahaya bintang tertentu tampak
berposisi dekat dengan matahari akan mencapai bumi dari arah sedemikian rupa
sehingga tampaknya bintang itu sedikit bergeser dari bumi. Dalam menyusun teori
Einsten tidak menggunakan ramalan-ramalan atau mencari dalil-dali untuk
memperkuat keyakinannya, akan tetapi ia mencari eksperimen-eksperimen crusial
(serius). Hal ini berbeda dengan kelompok Induktifis yang diwakili oleh Marx,
Freud dan Adler yang dalam pengamatan Popper melakukan kesalahan dengan
memasukkan sesuatu yang tidak sebenarnya Preudo Science menjadi Science. Di
antara problem itu antara lain: pertama, Kelompok Induktifis membangun sistem
ide yang membuat alasan-alasan palsu seolah-olah seperti ilmiah sebagaimana
yang dilakukan oleh Marx.
Semestinya science harus dihasilkan dari
hukum-hukum yang sebenarnya, bisa dibuktikan melalui observasi dan eksperimen
yang teruji, artinya ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Kedua, Menafsirkan
setiap fenomena dari sistem yang mereka percayai, kesalahan itu dapat
dibuktikan dengan teori Hukum Gravitasi Newton. Hal ini bertolak belakang
dengan prinsip yang dibangun oleh Einstein yang mengambil jalan dengan
melakukan eksperimen-eksperimen yang selalu diuji, sehingga terbebas dari
kesalahan interpretasi sebuah fenomena yang berubah- ubah. Ketiga, Membuat
kriteria demarkasi pengetahuan dengan berpegang pada prinsip Verifiabel menolak
pengetahuan yang tidak bersumber dari fakta, termasuk menolak metafisika karena
dianggap tidak bermakna. Bagi Popper prinsip verifikasi tidak akan pernah
mungkin untuk menyatakan kebenaran-kebenaran hukum umum, karena hukum umum
dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Seluruh ilmu
pengetahuan alam yang sebagian besar dari hukum-hukum umum tidak bermakna.
Popper mengatakan bahwa dalam sejarah dapat kita saksikan acapkali ilmu
pengetahuan lahir dari pandangan–pandangan metafisika atau mistik tentang
dunia, sebagai contoh gagasan atomisme Demokritos dan Leukippos. Suatu ucapan
metafisika bukan saja dapat bermakna, tetapi dapat benar juga, biarpun baru
menjadi ilmiah kalau sudah teruji dan dites. Untuk menyelidiki suatu ucapan
atau teori, lebih dahulu kita harus mengerti akan teori itu. Tetapi bagaimana
kita dapat mengerti suatu teori, jika teori itu tidak mengandung makna, karena
lisan itulah Popper menolak usaha neopositivisme untuk menetapkan suatu prinsip
verifikasi. Keempat, Kelompok induktifistik meletakkan posisi konsep ilmu dalam
kondisi statis, hal itu dapat dilihat dari komponen struktur ilmu.
Komponen-komponen itu mereka temukan dari pernyataan-pernyataan protokol yang
menggambarkan komponen terakhir struktur dunia empiris. Bagi mereka induksi
merupakan bagian esensi metode ilmiah dari fakta-fakta dasar, observasi,
pengalaman indera. Jadi intinya, dalam konsep mencari pembenaran obyektif ilmu
dengan cara memperteguh pengetahuan yang tidak diragukan dan kemudian mereduksi
secara logis pengetahuan lain sehingga tak tergoyahkan. Ini semua berlawanan
dengan Popper yang memandang ilmu pengetahuan secara dinamis. Baginya mencari
obyektifitas ilmu berarti membentuk kriteria rasional untuk memperoleh
pengetahuan dan untuk memahami pertumbuhan pengetahuan. Menurutnya kriterium
pembeda antara ilmu dan non ilmu ialah falsifiabilitas: suatu pernyataan
bersifat ilmiah bila bisa difalsifikasikan secara empirik, sehingga tak ada
ruang untuk pengetahuan yang absolut dan untuk kelas istimewa
pernyataan-pernyataan sebagai inti kokoh pengetahuan yang tak tergoyahkan.
Meskipun tidak tak bisa diverifikasi secara positif, teori bisa diuji.
Obyektifitas pernyataan ilmiah, bagi Popper terletak dalam kenyataan bahwa
pernyataan tersebut dapat diuji secara intersubyektif
3.
Dunia tiga
Untuk melihat keutuhan pemikiran filsafat ilmu
Popper, perlu sedikit diuraikan konsepnya yang lain, yaitu Dunia Tiga. Popper
membedakan ‘realitas’ menjadi apa yang ia sebut Dunia Satu, yakni kenyataan
fisis dunia, Dunia Dua, yakni segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri
manusia, dan Dunia Tiga, yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan
manusia dan hasil kerja sama antara Dunia Satu dan Dunia Dua serta seluruh
bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama, dan lain-lain.
Menurut Popper, Dunia Tiga hanya ada selama
dihayati, dalam arti berupa karya dan
penelitian ilmiah, dalam studi yang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang
sedang megalir dalam diri para seniman dan penggemar seni yang mengandaikan adanya
suatu kerangka sesudah penghayatan itu, semuaya langsung “mengendap” dalam
bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan seterusnya. Dengan
mengdapannya itu semua, maka mereka telah menjadi bagian dari Dunia Satu, namun
bisa bangkit menjadi Dunia Tiga kembali, berkat perhatian Dunia Dua. Dalam
pandangan Popper, Dunia Tiga mempunyai kedudukannya sendiri, mempunyai otoritas
dan tidak terikat baik pada Dunia Satu maupun pada Dunia Dua. Pemikiran Popper
ini akan terlihat signifikansinya, terutama untuk memahami konsepnya:
falsifikasi. Jika suatu teori mengalami gugur setelah dilakukan kritik, sudah
tentu kenyataan fisis-objektif tidak
mengalami perubahan. Popper memang ingin menghindari dua ekstrim, yaitu
objektifisme yang memandang hukum alam ada pada kenyataan fisis dan
subjektifisme yang berpandangan bahwa hukum alam adalah dimiliki dan dikuasai
manusia. Bagi Popper, manusia terus bergerak semakin mendekati kebenaran.
C.
Thomas S. Kuhn: paradigma
Thomas S. Kuhn lahir pada 18 Juli 1922 di
Cincinnati, ohio Amerika Serikat. Pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D
dalam bidang ilmu fisika Havard University. Ditempat yang sam ia kemudian
bekerja sebagai asisten dosen dalam bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu.
Pada tahun 1956, Kuhn meneriman tawaran kerja di Universitas California,
Berkeley sebagai dosen dalam bidang sejarah sains. Tahun 1964, ia mendapat
anugrah Gelar Guru Besar (profesor) dari princeton university dalam bidang
filasafat dan sejarah sains. Selanjutnya pada tahun 1983 ia dianugerahi Gelar
Profesor untuk kesekian kalinya, kali ini dari Massachusetts Institute of
university. Thomas Kuhn menderita penyakit kanker selama beberapa tahun diakhir
masa hidupnya, yang akhirnya meninggal dunia pada hari senin 17 Juni 1996 dalam
usia 73 tahun.
Karya Kuhn cukup banyak, namun yang paling
terkenal dan mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuan pada umumnya
adalah the structure of scientific revolutions, sebuah buku yang terbit
pada tahun 1962 oleh university of chicago press. Buku itu sempat terjual lebih
dari satu juta copy dalam 16 bahasa dan direkomendasikan menjadi bahan bacaan
dalam kursus-kursus atau pengajaran yang berhubungan dengan pendidikan,
sejarah, psikologi, riset dan sejarah dan filsafat sains.
Dalam karyanya itu, Kuhn menggunakan model
politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi
untuk menggambarkan proses invensi (invention) dalam sains dan memberi
penekanan serius pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan
revolusi politik memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi
yang ada dimasyarakat bahwa institusi dimana mereka berada sudah tidak bekerja
dengan baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada
revolusi dengan tujuan perubahan institusional.
1.
Momentum Kuhn
Pandangan Kuhn tentang ilmu dan
perkembangannya pada dasarnya merupakan respon terhadap pandangan
neo-positivisme dan Popper. Proses verikasi dan konfirmasi-eksperimentasi dari
‘bahasa ilmiah’, dalam pandangan vienna circle, merupakan langkah proses dan perkembangan
ilmu, sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang disebut ilmu dengan yang
bukan ilmu. Sementara pada Popper, proses perkembangan ilmu- yang menurutnya
harus berkemungkinan mengandung salah- itu, adalah dengan proses yang disebut
falsifikasi (proses eksperimentasi untuk membuktikan salah dari suatu teori
ilmu) dan refutasi (penyangkala teori). Dua pandagan ini tampak seperti
berbeda, terutama kriteria dari sesuatu yang disebut ilmiah namun sebenarnya
keduanya memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki
nuansa positivistik dan karenanya juga objektivistik, yang cenderung memisahkan
(dalam arti dan distansi) antara ilmu dan unsur-unsur subjektivitas dari
ilmuan; keduanya juga memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan
linier-akumulasi dan eliminasi.
Kuhn menolak pandangan diatas (pemikiran
positivistik objektivistik dan proses evolusi, akumulasi, dan eliminasi dalam
perkembangan ilmu). Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti
sejarah ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Bedanya, Kuhn
lebih mengeksplorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya apakah hakikat ilmu,
baik dalam praktiknya yang nyata maupun dalam analisis konkret dan empiris.
Jika Popper menggunakan sejarah ilmu sebagai bukti untuk mempertahankan
pendapatnya, Kuhn jusru menggunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak
penyelidikannya. Baginya, filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu,
sehingga dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
2.
Paradigma dan konstruksi komunitas
ilmiah
Temuan-temuan Kuhn kemudian diterbitkan dalam
karyanya the structure of scientific revolutions, yang memang cukup
mengguncang dominasi paradigma positivistik. Didalam bukunya itu, ia menyatakan
bahwa ilmuan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan
kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip paa pemecah teka teki yang bekerja
didalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn memakai istilah ‘paradigma’
untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka teki
didalam ilmu. Dengan memakai istilah ‘paradigma’, ia bermaksud mengajukan
sejumlah contoh yang telah diteriam tentang praktik ilmiah nyata, termasuk
didalamnya hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi, yang menyediakan
model-model, yang menjadi sumber konsistensi dari tradisi riset ilmiah
tertentu. Menurut Kuhn, tradisi-tradisi inilah yang oleh sejarah ditempatkan
didalam rubrik-rubrik seperti ‘Petolemaic Astronomy’ (atau copernican),
“aristoteian dynamic” (atau neo-tonian), “corpuscular optics” (atau wave optic)
dan sebagainya.
Pandangan Kuhn ini telah membuat dirinya
tampil sebagai prototipe pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuan yang
bersifat positifistik. Pemikiran positivisme memang lebih menggaris bawahi
validitas hukum-hukum alam dan hukum-hukum sosial yang bersifat uiversal, yang
dapat dibangun oleh rasio. Mereka kurang begitu berminat untuk melihat faktor
historis yang ikut berperan dalam aplikasi hukum-hukum yang dianggap sebagai
universal tersebut.
Fokus pemikira Kuhn ini memang menentang
pendapat golongan realis yang mengatakan bahwa sains-fisika dalam sejarahya
berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta bebas konteks. Sebaliknya ia
menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku melalui apa yang di sebut paradigma
ilmu. Menurut Kuhn, paradigma ilmu adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu
cara memandang atau memahami alam yang telah digunakan oleh sekelomopok ilmuan
sebagai pandangan dunia (world view)nya. Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa
yang melaluinya ilmuan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah
dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah
tersebut.
Paradigma ilmu dapat di anggap sebagai suatu
skema kognitif yang dimiliki bersama. Sebagaimana skema kognitif itu memberi
kita, sebagai individu suatu cara yang mengerti alam sekeliling, maka suatu
paradigma ilmu memberi sekumpulan keilmuan itu suatu cara memahami alam ilmiah.
Bila seorang ilmuan memperhatikan suatu fenomena dan menafsirkan apa makna
pemerhatiannya itu, ilmuan itu menggunakan suatu paradigma ilmu untuk memberi
makna bagi perhatiannya itu. Kuhn menamakan sekumpula ilmuan yang telah
memiliki pandangan bersama tentang alam (yakni paradigma ilmu bersama) sebagai
suatu ‘komunitas ilmiah’. Istilah komunitas ilmiah bukan berarti sekumpulan
ilmuan yang bekerja dalam suatu tempat. Suatu komunitas ilmiah yang memiliki
suatu paradigma bersama tentang alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa,
nila-nilai, asumsi-asumsi, tujuan-tujuan, norma-norma dan
kepercayaan-kepercayaan. Dengan demikian paradigma ilmu tidak lebih dari suatu
konstruksi segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca,
menafsirkan, mengungkapkan, dan memahami alam. Brdasarkan bukti-bukti dari
sejarah ilmu, Kuhn menyimpulkan bahwa faktor historis yakni faktor nonmatemais-positivistik,
merupakan faktor penting dalam bangunan paradigma keilmaun secara utuh. Temuan
Kuhn ini, dengan begitu, memerkuat alur pemikiran bahwa sains bukannya value-neutral,
seperti yang terjadi dalam pemecahan persoalan-persoalan matemais, tetapi
sebaliknya ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah value laden, yang erat terkait dengan nilai-nilai
sosio-kultural, nilai-nilai budaya, pertimbangan politik praktis dan lain sebagainya.
Atas pandangannya yang meyakini bahwa ilmu memiliki keterkaitan dengan faktor
subjektivitas, dalam arti kontruksi sosio-kultural dari komunitas ilmiah yang
berwujud paradigma ilmu. Filsafat ilmu Kuhn disebut oleh kalangan positivis
sebagai psycology of discovery, yang dibedakan dengan logic of
discovery sebagaimana positivis.
Konsekuwensi lebih jauh dari pandangan Kuhn,
bahwa metode ilmiah (dalam hal ini, proses obserfasi, eksperimentasi, deduksi
dan konklusi yang di idealisasikan) yang menjadi dasar kebanyaka klaim ilmu
akan objektivitas dan universalitas, telah berubah hanya menjadi semacam ilusi.
Bagi Kuhn, paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang para
ilmuan, jenis-jens pertanyaan yang mereka ajukan dan masalah yang mereka anggap
penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuan bahkan tak bisa mengumpulkan
“fakta” dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua fakta
yang mungkin sesuai dengan prkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama
relevan. Akhirnya, pengumpulan fakta hampir semuanya merupakan aktiftas acak.
3.
Proses perkembangan ilmu
Menurut Kuhn proses perkembangan ilmu manusia
tidak dapat terlepas sama sekali dari apa yang disebut keadaan “normal science
” dan “revolutonary science”. Semua ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam
texbook adalah termasuk dalam wilayah “sains normal” (normal science). Sains
normal bermakna penyelidika yang dibuat oleh suatu komunitas ilmiah dalam
usahanya menafsirka alam ilmiah melaluui alam ilmiahnya. Sains normal adalah
usaha sungggu-sungguh dari ilmuan unuk menundukkan alam masuk kedalam
kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh paradigma ilmiah dan, untuk
menjelaskan, diumpamakan sains normal itu sebagai dapat menyelesaikan masalah
teka-teki. Sebagaimana penyelesaian-enylesaian maslah teka-teki menggunakan
gambar pada kotak untuk membimbingnya untuk menyelesaikan teka-teki itu, maka
suatu paradigma ilmiah memberi komunitas ilmiah suatu gambaran tentang
bagaimana sepatutnya bentuk dunia ilmiah mereka, yang dengan begitu semua
serpihan-serpihan penyelidikan ilmiah di gabungkan satu sama lain. Kemajuan
dalam sains normal diukur menurut banyaknya serpiahan dari teka-teki yang
dikumpulkan (yakni berapa banyak lingkungan ilmiah yang dapat diamati dan dapat
dipahami oleh omunitas ilmiah tersebut). Semakin banyak lingkungan ilmiah dapat
diterangkan oleh suatu komunitas ilmiah semakin besar pula kemajuan yang
dicapainya. Begitulah ‘paradigma’ berkaitan erat dengan sains normal.
Dlam wilayah “normal science” ini bisa saja
ada banyak persoalan yang tidak dapat terselesaikan, dan bahkan inkonsistensi.
Inilah keadaan yang oleh Kuhn disebut anamolies, keganjilan-keganjilan, ketidak
tepatan, ganjalan-ganjalan, penyimpangan-penyimpangan dari yang bisa, suatu
keadaan yang sering kali tidak dirasakan bahkan tidak diketahui oleh para
pelaksana dilapangan. Kebiasaan memecahkan persoalan lewat cara-cara yang biasa
berlaku secara konvensional, cara-cara standar, cara-cara yang sudah terbakukan
dan mapan, ingin tetap dipertahankan oleh para praktisi yang ada dilapangan.
Oleh karena terkurung oleh rutinitas, para praktisi tersebut biasanya dan
sering kali tidak menyadari adanya anamali-anamali yang melekat dalam wilayah
“normal science”. Anomalies tidak dapat
dipecahkan secara tuntas dalam wilayah (normal science). Hanya kalangan
peneliti tertentu, para pengamat, dan kritius yang relatif mengetahui adanya anamalis tersebut. Mereka inilah
pelaku dari apa yang disebut sains luar biasa.
Sains luar biasa berlaku bila dalam perjalan
sains normal, suatu komunitas ilmiah mulai mengumpulkan data yang tidak sejalan
dengan pandangan paradigma mereka terhadap alam. Bila suatu komunitas ilmiah
mulai mempersoalkan kesempurnaan paradigmanya, maka semenjak itu ia memasuki
keadaan kritis. Usaha komunitas untuk menyelesaikan krisis adalah proses sains
luar biasa. Krisi berlaku setelah lama mengalami sains normal dan merupakan
fase yang harus dilalui menuju kemajuan ilmiah. Krisis adlah suatu mekanisme
koreksi diri yang memastikan bahwa kekakuan pada fase sains normal tidak
berkelanjutan. Persoalan yang selalu dicari jawabannya oleh anggota komunitas
ilmiah adalah “mana paradigma yang membolehkan kita menyelesaikan teka-teki
dengan berhasil”.
Dalam periode “revolutionary science”, hampir
semua kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian
persoalan, cara perbikir, cara mendekati persoalan yang berubah dengan
sendirinya. Sudah barang tentu, khazanah intelektual yang lama masi dapat
dimanfaatkan sejauh ia masih menyentuh persoalan yang dihadapi.
Dalam skema Kuhn diatas terlihat bahwa suatu stabilitas
dogmatis dapat diselingi oleh rvolusi-revolusi yang sesekali terjadi. Yang
menggamarkan brmulanya ilmu revolusioner secara gamblang:“sains normal sering
menindas kebaruan-kebaruan fundamental kaena mereka pasti bersifat subversif
terhadap komitmen dasarnya (namun) ketika profesi tidak bisa lagi mengelak dari
anamali-anamali yang menrongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada”. Maka
dimulailah investigasi yang berada diluar kelaziman. Suatu titik tercapai
ketika krisis hanya bisa dipecahkan dengan revolusi dimana paradigma lama
memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru. Demikanlah “sains revolusioner”
mengambil alih.
Penggeseran paradigma mengubah konsep-konsep
dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru
teknik-teknik riset baru, seta jalur-jalur teori dan eksperimen baru yang
secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi dengan yang lama. Kebanyakan
aktifitas ilmiah, menurut Kuhn, berlangsung didalam rubrik “sains normal”,
yakni lmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks, dan yang mensyaratkan agar
riset “didasrkan pada satu pencapaian ilmiah masa silam atau lebih,
pencapaian-pencapaian yang diakui semntara waktu oleh komunitas ilmiah tertentu
senagai dasar bagi praktek slanjutnya”. Ilmu yag bersifat restriktif dan
bersifat pemecahan masalah secar tertutup memiliki kekurngan maupun
kelebihannya. Disatu sisi iamemungkinkan komunitas ilmiah mengumpulkan data
berdasarkan suatu basis sistematis dan secara cepat memperluas batas-batas
ilmu, dan dilain pihak, sains normal mengisolasi komunitas ilmiah dari segala
sesuatu yang berada duluar komunita itu. Masalah-masalah yang penting secara
sosial, yang tidak bisa direduksikan menjadi bentuk pemecahan teka-teki aka
dikesampingkan, dan apapun yang berada diluar lingkup konseptual dan
instrumental paradigma itu dianggap tidak relevan.
Demikianlah, dalam pandangan Kuhn,
perkembangan dan kemajuan ilmiah bersifat revolosioner, bukan evolusi atau
akumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Perkembagan ilmu itu tidak
disebutkan oleh dikuatkan dan dibatalkannya suatu teori, tetapi lebih
disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma. Paradigma pada dasarnya adalah
hasil kontruksi sosial para ilmuan (komunitas ilmiah), yang merupakan
seperangkat keyakinan mereka sebagai cara pandang terhadap dunnia da
contoh-contoh prestasi atau praktik-praktik ilmiah konkrit.
Mengakhiri ini perlu disampaikan, bahwa konsep
Kuhn ini tampaknya mendapat respon dari beberapa ilmuan, yang melihat
perkembangan disiplin ilmu masing-masing. Para ilmuan melihat sedemikian jauh
pengaruh, implikasi dan bahkan aplikasi dari konsepsi pemikiran filsafat
keilmuan Kuhn dalam hampir seluruh bidang ilmu seperti sejarah, ekonomi,
politik, sosiologi, budaya, dan bahkan keagamaan.
Daftar
Refrensi:
Bertens, K. 2003. Filsafat Barat
Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta : Gramedia
Chalmer. 1963. Apa Itu Yang
Dinamakan Pengetahuan. Jakarta: Hasta Mitra, 1963.
Kaelan. 2002. Filsafat
Bahasa. Yogyakarta: paradigma
Muslih, Mohammad. 2010. Filsafat
Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar
Popper, Karl R. 1962. Conjectures
and refutation. New York: Basic Book
Popper, Karl R. 1992.The Logic of
Scientific Discovery. London: Routledge
Taryadi, Alfon. 1991. Epistemologi
Pemecahan Masalah Menurut Karl R Popper. Jakarta: Gramedia
William Berkson, Psikologi Belajar Karl Popper, Terj, Ali Noer Zaman. Yogjakarta: Qalam
William Berkson, Psikologi Belajar Karl Popper, Terj, Ali Noer Zaman. Yogjakarta: Qalam
Komentar
Posting Komentar